November 2011

Hukum Sutroh di dalam sholat

Bismillah,
ustadz, ana mau tanya apakah hukum sutroh (pembatas) dalam sholat wajib pada saat sebelum takbirotulihrom saja, dan berubah hukumnya ketika setelah itu menjadi tidak wajib lagi, atau dia wajib selama kita sedang sholat?
Mohon penjelasannya. Jazakallah ustadz.

Jawab :
Permasalahan sutroh merupakan perkara yang banyak dilupakan kaum muslimin dalam sholatnya. Nampaknya banyak dari mereka yang tidak mengetahui kewajiban mendekat ke sutrah dalam sholat dan larangan shalat tanpa sutroh. Yang dimaksudkan dengan sutroh pada shalat yaitu benda yang ada di hadapan orang yang shalat setinggi sehasta, untuk menutupinya dari apa-apa yang lewat di depannya. Sutroh ini dapat berupa tembok, tiang, atau lainnya. Nabi -sholallahu alaihi wa sallam- bersabda:

Janganlah engkau melakukan shalat kecuali menghadap sutroh. (HR. Ibnu Khuzaimah; dishahihkan oleh syaikh Al-Albani di dalam Shifat Shalat Nabi)

Nabi -sholallahu alaihi wa sallam- juga bersabda:

Jika seseorang dari kamu melakukan shalat menghadap sutroh, maka hendaklah dia mendekat kepadanya, jangan sampai syaithaan membatalkan shalatnya. (HR. Abu Dawud, no. 695; An-Nasai, no. 748; dishahihkan oleh syaikh Al-Albani)
Adapun ukuran kedekatan tempat berdiri orang shalat dengan sutroh adalah kira-kira tiga hasta, sebagaimana diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari, hadits no. 506.
Penggunaan sutroh ini berlaku sejak takbiratul ihrom hingga selesai sholat. Namun kewajiban sutrah ini dikecualikan bagi makmum, karena sutrah di dalam shalat jama’ah merupakan tanggungan imam. Sehingga jika diperlukan seseorang boleh lewat di depan makmum, dan makmum tidak wajib menolaknya. Dalil hal ini adalah hadits sebagai berikut:

Dari Abdullah bin ‘Abbas, dia berkata: “Aku datang mengendarai keledai betina, waktu itu aku hampir baligh, ketika Rasulullah n melakukan shalat dengan orang banyak di Mina tanpa menghadap tembok. Lalu aku melewati depan sebagian shaf, lalu aku turun dan melepaskan keledai itu merumput. Dan aku masuk ke dalam shaf, tidak ada seorangpun yang mengingkariku”. (HR. Bukhari, no. 493; Muslim, no. 504)
Demikian penjelasan saya mudah-mudahan bermanfaat.

hukum tidur setelah ashar

Soal:
Assalamu 'alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, Apa hukumnya tidur setelah shalat 'Ashar? Dan bagaimana hadits yang mengatakan tidak boleh tidur selepas Ashar karena akan gila?
Pembaca voa-islam.com
(Pertanyaan Melalui HP)  

Jawab:
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada baginda Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Perlu diketahui, tidak terdapat hadits shahih dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam ataupun perkataan para sahabat yang menerangkan tentang tidur sesudah 'Ashar, baik yang berisi pujian ataupun celaan. Adapun beberapa hadits yang berbicara tentangnya sebagiannya dhaif dan sebagian lagi maudhu' (palsu). Seperti ungkapan yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
 عجبت لمن عام ونام بعد العصر
"Aku heran dengan orang yang terbaring dan tidur sesudah 'Ashar," tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits. Tak seorangpun ulama yang menyebutkannya. Ungkapan tersebut adalah hadits palsu dan tidak memiliki sumber. Tidak boleh meyakini keabsahannya. Tidak boleh pula menisbatkannya kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, karena berdusta atas nama beliau termasuk dosa besar.
Terdapat hadits lain tentang celaan tidur sesudah 'Ashar yang juga tidak bisa dijadikan sandaran, padahal sudah sangat terkenal, yaitu:
مَنْ ناَمَ بَعْدَ اْلعَصْرِ فَاخْتُلِسَ عَقْلُهُ فَلاَ يَلُوْمَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ
"Barangsiapa yang tidur setelah ‘Ashar, lalu akalnya dicuri (hilang ingatan), maka janganlah sekali-sekali ia mencela selain dirinya sendiri."           
Syaikh al-Albani mengomentarinya dalam Silsilah al-Ahadits al-Dhaifah (1/112): Dhaif. Dikeluarkan Ibnu Hibban dalam "Al-Dhu'afa' wa al-Majruhin" (1/283) dari jalur Khalid bin al-Qasim, dari al-Laits bin Sa'ad, dari Uqail, dari al-zuhri, dari 'Urwah, dari 'Aisyah secara marfu'.
Hadits ini juga disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam "al-Maudhu'at" (3/69), beliau berkata: "Tidak shahih, Khalid adalah kadzab (pendusta). Hadits ini milik Ibnu Lahii'ah lalu diambil Khalid dan disandarkan kepada al-Laits.
Imam al-Suyuthi di dalam al-La’aali (2/150) berkata, “Al-Hakim dan perawi lainnya mengatakan: Khalid hanya menyisipkan nama al-Laits dari hadits Ibnu Lahii’ah.” Kemudian al-Suyuthi menyebutkannya dari jalur Ibnu Lahii’ah. Sesekali ia berkata: Dari ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya secara marfu’. Terkadang ia berkata: Dari Ibn Syihab, dari Anas secara marfu’.
Ibn Lahii’ah dinilai Dha’if karena hafalannya. Beliau juga diriwayatkan dari jalur lain: Dikeluarkan oleh Ibnu ‘Adi dalam al-Kaamil (1/211); dan al-Sahmi di dalam Taarikh Jurjaan (53), darinya (Ibn Lahii’ah), dari ‘Uqail, dari Makhul secaa marfu’ dan mursal. Keduanya (Ibn ‘Adi dan as-Sahmi) mengeluarkannya dari jalur Marwan, ia berkata: "Aku bertanya kepada al-Laits bin Sa’ad – aku pernah melihatnya tidur setelah ‘Ashar di bulan Ramadhan-, "Wahai Abu al-Harits! Kenapa kamu tidur setelah ‘Ashar padahal Ibnu Lahii’ah telah meriwayatkan hadits seperti itu kepada kita..?" lalu ia (Marwan) membacakannya (hadits di atas). Maka al-Laits menjawab, “Aku tidak akan meninggalkan sesuatu yang berguna bagiku hanya karena hadits Ibn Lahii’ah dari ‘Uqail.!”
Kemudian Ibn ‘Adi meriwayatkan dari jalur Manshur bin ‘Ammar: "Ibnu Lahii’ah menceritakan kepada kami’, dari ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya."
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan Abu Nu’aim di dalam "ath-Thibb an-Nabawi" (2/12), dari ‘Amru bin al-Hushain, dari Ibnu ‘Ilaatsah, dari al-Auza’i, dari az-Zuhri, dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah secara marfu’. ‘Amr bin al-Hushain ini adalah seorang pembohong sebagaimana yang dikatakan al-Khathib dan ulama hadits lainnya. Ia perawi hadits lain tentang keutamaan ‘Adas (sejenis makanan), dan itu merupakan hadits palsu. (Selesai dari perkataan Syaikh al-albani rahimahullah)
Hukum Tidur Habis 'Ashar
Terdapat dua pendapat yang masyhur di kalangan ulama tentang tidur sesudah 'Ashar. Pertama, hukumnya makruh sebagaimana yang disebutkan oleh banyak fuqaha' dalam kitab-kitab fikih mereka. Sebagian yang lain berdalil dengan hadits dhaif di atas. Ada juga yang berdalil dengan sebagian ucapan para salaf dan kajian kesehatan.
Khawat bin Jubair –dari kalangan sahabat- berkata tentang tidur di sore hari, ia tindakan bodoh. Sedangkan Makhul dari kalangan Tabi'in membenci tidur sesudah 'Ashar dan khawatir orangnya akan terkena gangguan was-was. (Lihat: Mushannaf Ibnu Abi Syaibah: 5/339)
Ibnu Muflih dalam al-Adab al-Syar'iyyah (3/159) dan Ibnu Abi Ya'la dalam Thabaqat al-Hanbilah (1/22) menukil keterangan, Imam Ahmad bin Hambal memakruhkan bagi seseorang tidur sesudah 'Ashar, beliau khawatir akan (kesehatan) akalnya.
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zaad al-Ma'ad (4/219) siang hari adalah buruk yang bisa menyebabkan berbagai penyakit dan bencana, menyebabkan malas, melemahkan syahwat kecuali pada siang hari di musim panas. Dan yang paling buruk, tidur di pagi hari dan di ujung hari sesudah 'Ashar.
Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhuma pernah melihat anaknya tidur pagi, lalu beliau berkata kepadanya: "Bangunlah, apakah kamu (senang) tidur pada saat dibagi rizki?". . .  dan sebagian ulama salaf berkata: "Barangsiapa yang tidur setelah ‘Ashar, lalu akalnya dicuri (hilang ingatan), maka janganlah sekali-sekali ia mencela selain dirinya sendiri." (Lihat: Mathalib Ulin Nuha (1/62), Ghada' al-Albab (2/357), Kasysyaf al-Qana' (1/79), Al-Adaab al-Syar'iyyah milik Ibnu al-Muflih (3/159), Adab al-Dunya wa al-Dien: 355-356, Syarh Ma'ani al-Atsar (1/99).
Pendapat kedua: Membolehkan tidur sesudah 'Ashar. Karena hukum asal dari tidur adalah mubah, dan tidak ada hadits shahih yang melarangnya. Padahal hukum syar'i itu diambil dari hadits-hadits shahih, bukan dari hadits-hadits lemah apalagi hadits palsu yang didustakan atas nama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, dan tidak pula ditetapkan dari pendapat-pendapat manusia.
Syaikh Al-Albani dalam al-Silsilah al-Dhaifah no. 39, sesudah beliau menyebutkan keterangan dari al-Laits bin Sa'ad, seorang faqih dari Mesir yang sangat terkenal yang mengingkari larangan tidur habis 'Ashar yang sudah disebutkan di atas, berkata:
"Saya sangat terpukau dengan jawaban al-Laits tersebut yang menunjukkan kefaqihan dan keilmuannya. Tentunya itu tidak aneh, sebab ia termasuk salah satu dari ulama tokoh kaum Muslimin dan seorang ahli fiqih yang terkenal. Dan saya tahu persis, banyak syaikh-syaikh (ulama-ulama) saat ini yang enggan untuk tidur setelah ‘Ashar sekali pun mereka membutuhkan hal itu. Jika dikatakan kepadanya bahwa hadits mengenai hal itu adalah Dha’if (lemah), pasti ia langsung menjawab, “Hadits Dha’if boleh diamalkan dalam Fadha’il al-A’maal (amalan-amalan yang memiliki keutamaan)!” Karena itu, renungkanlah perbedaan antara kefaqihan Salaf (generasi terdahulu) dan keilmuan Khalaf (generasi belakang). Selesai keterangan dari beliau."
Fatwa Lajnah Daimah
Dalam fatawa al-Lajnah al-daimah (26/148) disebutkan satu pertanyaan: "Aku pernah mendengar dari orang-orang yang mengharamkan tidur sesudah 'Ashar, apakah pendapat itu benar?"
Lalu dijawab: "Tidur sesudah 'Ashar termasuk bagian dari kebiasaan yang dilakukan sebagian orang, dan itu tidak apa-apa. Sementara habitd-hadits yang melarang tidur sesudah 'Ashar tidak shahih." Selesai nukilan.
Pendapat Rajih
Nampaknya pendapat kedua inilah yang lebih rajih (kuat) karena hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang menerangkan akan larangan itu tidak shahih. Sementara keterangan ulama salaf yang melarangnya, maka itu dibawa kepada kemakruhan (tidak disuka/tidak dianjurkan) ditinjau dari sisi kesehatan, bukan dari sisi syar'i. Yakni pada zaman dahulu masyhur di kalangan bangsa Arab dan para tabib terdahulu, tidur sesudah 'Ashar itu tidak sehat dan  bisa membahayakan fisik, maka mereka memakruhkan orang-orang tidur sesudah 'Ashar supaya badannya tidak sakit, tanpa menyandarkan kepada sunnah atau tasyri'. Maka urusan ini dikembalikan kepada dokter atau ahli kesehatan, jika benar-benar itu mengandung bahaya dan keburukan maka seseorang tidak dibolehkan melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya. Sementara syariat, pada dasarnya tidak melarang hal itu. Wallahu Ta'ala a'lam.

ruginya tidur sesudah subuh

wasshalatuwassalaamu ‘ala rasulillah wa ‘ala aalihi waman tabi’ahu biihsan ila yaumiddiin…
 
Ramadan telah tiba kita bersyukur kepada Allah ta’ala karena diberi kesempatan untuk bertemu dengan  bulan yang mulia ini dan menimba pahala yang banyak di dalamnya, karena itu, hendaknya kita manfaatkan kesempatan ini semaksimal mungkin. Hanya saja ada satu kebiasaan buruk yang menjamur, terutama di bulan Ramadhan. Kebiasaan itu adalah tidur di waktu pagi. Ada banyak hal yang menjadi sebab kita tidur pagi. Diantaranya karena sebagian kita tidak terbiasa bangun untuk sahur atau karena sahur terlalu dini di tengah malam atau karena makan sahur terlalu banyak, dan sebab lainnya. Lalu  apakah kerugian tidur diwaktu pagi? Mari kita simak  tulisan barikut.
  • Kehilangan barakah pagi hari
Sebagaimana terdapat dalam Sunan Tirmidzi dan Sunan Abu Daud dan lainnya dari hadis Sakhr bin Wada’ah al Ghamidi radliyallahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Ya Allah berikanlah berkah kepada umatku di pagi hari mereka”. Ini adalah doa yang agung yang  Rasulullah panjatkan agar umatnya memberi perhatian yang besar kepada waktu pagi.¹
  • Bisa ketinggalan waktu shalat subuh
Tidak sedikit dari kita tidur setelah sahur sehingga hal ini bisa menyebabkan ketinggalan jamaah shalat subuh (bagi laki-laki) atau bahkan kehilangan waktu shalat subuh.
  • Menyelisihi kebiasaan para salaf
Sebagian ulama salaf membenci tidur setelah shalat subuh.
Dari ‘Urwahin bin Zubair, beliau mengatakan, “Dulu Zubair melarang anak-anaknya untuk tidur di waktu pagi
Urwah mengatakan, “Sungguh jika aku mendengar bahwa  seorang itu tidur di waktu pagi maka aku pun merasa tidak suka dengan dirinya”. [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no 25442 dengan sanad yang sahih].
Yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat adalah setelah mereka melaksanakan shalat subuh  mereka duduk di masjid hingga matahari terbit.
Dari Sammak bin Harb, aku bertanya kepada Jabir bin Samurah, “Apakah anda sering menemani duduk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”. jawaban Jabir bin Samurah, “Ya, sering. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah meninggalkan tempat beliau menunaikan shalat shubuh hingga matahari terbit. Jika matahari telah terbit maka beliau pun bangkit meninggalkan tempat tersebut. Terkadang para sahabat berbincang-bincang tentang masa jahiliah yang telah mereka lalui kemudian mereka tertawa-tawa sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya tersenyum-senyum saja mendengarkan hal tersebut” (HR Muslim).
Skakhr al Ghamidi mengatakan, “Kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mengirim pasukan perang adalah mengirim mereka di waktu pagi”.
Shakhr al Ghamidi adalah seorang pedagang. Kebiasaan beliau jika mengirim ekspedisi dagang adalah memberangkatkannya di waktu pagi. Akhirnya beliau pun menjadi kaya dan mendapatkan harta yang banyak. Hadits di atas diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah namun ada salah satu perawi yang tidak diketahui. Akan tetapi hadits ini memiliki penguat dari Ali, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud dll.²
  • Membuat malas dan melemahkan badan
Ibnul Qayyim ketika menjelaskan masalah banyak tidur, beliau menyatakan bahwa banyak tidur dapat mematikan hati dan membuat badan merasa malas serta membuang-buang waktu. Beliau rahimahullah mengatakan, : “Banyak tidur dapat mengakibatkan lalai dan malas-malasan. Banyak tidur ada yang termasuk dilarang dan ada pula yang dapat menimbulkan bahaya bagi badan. Tidur pagi juga Menyebabkan berbagai penyakit badan, di antaranya adalah melemahkan syahwat. (Zaadul Ma’ad, 4/222)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Pagi hari bagi seseorang itu seperti waktu muda dan akhir harinya seperti waktu tuanya.” (Miftah Daris Sa’adah, 2/216). Amalan seseorang di waktu muda berpengaruh terhadap amalannya di waktu tua. Jadi jika seseorang di awal pagi sudah malas-malasan dengan sering tidur, maka di sore harinya dia juga akan malas-malasan pula.³
  • Pagi adalah waktu dibaginya rizki
Imam Ibnul Qayyim mengatakan dalam kitabnya Zaadul Ma’aad, bahwasannya orang yang tidur di pagi hari akan menghalanginya dari mendapatkan rizki. Karena waktu subuh adalah waktu di mana makhluk mencari rizkinya, dan pada waktu tersebut Allah membagi rizki para makhluk.
Dan beliau menukil dari Ibn ‘Abbas radliyallahu ‘anhu bahwasannya dia melihat anaknya tidur di waktu pagi maka ia berkata kepada anaknya ‘bangunlah engkau! Apakah kamu akan tidur sementara waktu pagi adalah waktu pembagian rezki? ¹
Menurut para salaf, tidur yang terlarang adalah tidur ketika selesai shalat shubuh hingga matahari terbit. Karena pada waktu tersebut adalah waktu untuk menuai ghonimah (pahala yang berlimpah). Mengisi waktu tersebut adalah keutamaan yang sangat besar, menurut orang-orang shalih. Sehingga apabila mereka melakukan perjalanan semalam suntuk, mereka tidak mau tidur di waktu tersebut hingga terbit matahari. Mereka melakukan demikian karena waktu pagi adalah waktu terbukanya pintu rizki dan datangnya barakah (banyak kebaikan).” (Madarijus Salikin, 1/459, Maktabah Syamilah).³
Semoga Allah selalu memberi taufiq dan hidayahnya kepada kita semua.
Wa shallaatu wassalaam ‘ala anbyai wal mursaliin wal hamdulillahi rabbil ‘aalamiin

Mandi Junub Ketika Sakit?

Mandi Junub Ketika Sakit?

Bagaimana caranya mandi junub bagi orang yang sakit? perlu diketahui bahwa sakitnya tidak boleh kena air, jika terkena air maka sakitnya bertambah parah (RH. B di Bumi Allah)

Jawab:
Bagi orang yang junub ataupun telah selesai dari haidh atau nifas, sedangkan ia dalam keadaan sakit dan mengharuskannya untuk tidak terkena air, maka cara bersuci agar dapat melaksanakan kewajiban shalat dan sebagainya adalah dengan tayammum (mengganti mandi dengan tayammum). Perkara ini telah dituntunkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam tentang kisah seorang laki-laki yang terkena batu hingga luka, kemudian ia ihtilam (mimpi basah). Ia menanyakan kepada para shahabatnya apa yang harus dilakukannya untuk bersuci dan mereka menyuruhnya untuk mandi yang dengan taqdir Allah menyebabkan kematiannya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam marah tatkala sampai pada beliau berita tersebut:

“Dari Jabir Bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhu ia berkata: “Kami keluar dalam safar, maka salah seorang diantara kami terkena batu hingga menyebabkan luka dikepalanya, kemudian ia ihtilam (mimpi basah), maka ia pun bertanya kepada para shahabatnya….” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam bersabda: “Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membunuh mereka. Mengapa mereka tidak bertanya apabila mereka tidak tahu, karena bertanya adalah obat dari penyakit (yakni kesalahan dalam bertindak) dan sesungguhnya cukup baginya tayammum..” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Daruquthni dan dishahihkan oleh Ibnu As-Sakan. Asy-Syaikh Al-Bani Rahimahullah berkata: “Hadits ini ada pendukungnya dari hadits Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma sehingga derajatnya naik menjadi hasan”. Akan tetapi hanya sampai pada lafadz ini saja. Adapun sesudahnya adalah tambahan yang dha’if (lemah). (Tamamul Minnah – 131)

Maka dengan tayammum gugurlah keadaan junub seseorang yang artinya ia harus mengerjakan shalat dan ibadah lainnya, wallahu a’lam.
Al-Ustadz Ja’far Umar Thalib

Tuntuan berhari raya

Berpuasa Ramadhan ditutup dengan Iedul Fitri tgl. 1 Syawwal yang merupakan rangkaian penutup dari amalan puasa Ramadhan. Karena itu Ramadhan dinamakan pula oleh Nabi kita Muhammad shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam sebagai Syahru Ied (yakni bulan yang diakhiri dengan Ied atau Hari Raya). Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih nya (hadits ke 1912) dan Muslim dalam Shahih nya (hadits ke 1089) dari Abi Bakrah radliyallahu `anhu bahwa Nabi shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam bersabda:
“Dua bulan yang tidak akan berkurang, ialah Syahraa Iedin (yakni dua bulan yang terdapat padanya Ied, pent), yaitu Ramadhan dan Dzulhijjah.” (HR. Bukhari no. 1912 dan Muslim no. 1089 dan yang ini lafadh Muslim )
Dalam menerangkan pengertian hadits ini para Imam Ahlus Sunnah wal Jamaah menerangkan hadits ini sebagai berikut:
Ibnu Hibban berkata: “Apa yang diberitakan dalam hadits ini ada dua makna, yang pertama: Bahwa pada kedua bulan yang ada padanya dua Hari Raya itu adalah dua bulan yang tidak berkurang pada hakikatnya, walaupun berkurang harinya menurut pandangan mata kita ketika terhalang antara kita dengan penglihatan kita terhadap hilal karena mendung atau kabut. Dan makna kedua ialah bahwa kedua bulan tersebut tidak berkurang satu dengan lainnya dalam keutamaannya. Yang dimaukan di sini ialah bahwa sepuluh Dzulhijjah itu sama dalam keutamaannya dengan bulan Ramadhan. Dan dalil yang menunjukkan pengertian demikian itu ialah sabda Nabi shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam : “Tidak ada hari-hari yang lebih utama untuk beramal padanya daripada sepuluh Dzulhijjah.” Ditanyakan kepada beliau: “Wahai Rasulullah apakah juga berjihad di jalan Allah tidak lebih utama daripada amalan di hari tersebut?” Beliau menjawab: “Bahkan juga jihad di jalan Allah tidak lebih utama dari amalan di hari itu.” Demikian dijelaskan oleh Ibnu Hibban dalam Shahih nya.
Al-Imam Al-Bukhari menerangkan: Ishaq berkata: “Walaupun kedua bulan tersebut berkurang harinya, namun keduanya sempurna.” Muhammad bin Ismail Al-Bukhari berkata: “Yakni kedua bulan tersebut tidaklah dalam setahun itu sama-sama berkurang harinya (atau sama-sama dua puluh sembilan hari, akan tetapi bila salah satunya dua puluh sembilan hari maka yang lainnya tiga puluh hari, pent).”
Demikian para Ulama menerangkan. Semua ini menunjukkan bahwa Iedul Fitri satu Syawwal adalah penyempurna amalan bulan puasa Ramadhan. Maka dari itu kita merayakan Iedul Fitri juga dalam rangka beribadah kepada Allah untuk menyempurnakan ibadah Ramadhan. Oleh karenanya harus diterapkan pula dalam berhari raya itu ketentuan syarat sahnya ibadah kepada Allah, yaitu Al-Ikhlas (yakni diniatkan amalan itu semata-mata untuk Allah) dan Al Ittiba' (yakni pengamalannya harus mengikuti tuntunan Nabi shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam ). Berikut ini kami bawakan untuk pembaca yang budiman beberapa tuntunan Sunnah Nabi shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam dalam merayakan Iedul Fitri untuk kiranya menjadi bimbingan bagi kita agar lebih sempurna amalan ibadah puasa Ramadhan kita di sisi Allah Ta`ala.
1). Allah Ta`ala membimbing kita dalam mengakhiri puasa Ramadhan dengan bertakbir, sebagaimana hal ini dinyatakan dalam firman-Nya:
“Dan agar kalian menyempurnakan bilangan hari bulan Ramadhan yang kalian diwajibkan puasa padanya dan agar kalian bertakbir membesarkan nama Allah sebagaimana yang Allah bimbing kalian dan semoga kalian dengan itu bersyukur kepada-Nya.” ( Al-Baqarah : 185)
Al-Imam Ibnu Jarir At-Thabari dalam Tafsir nya ketika menerangkan ayat ini membawakan riwayat Tafsir Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma terhadap ayat ini. Ibnu Abbas menerangkan: “Wajib atas segenap kaum Muslimin bila melihat hilal tanggal satu Syawwal (di malam Iedul Fitri) untuk bertakbir membesarkan nama Allah sampai mereka mengakhiri Shalat Ied mereka, karena Allah Ta`ala berfirman: “Dan agar kalian menyempurnakan bilangan puasa Ramadhan dan agar kalian bertakbir setelah itu sebagaimana yang Ia telah bimbing kalian.”
Al-Imam Al-Baghawi dalam tafsir beliau membawakan riwayat Tafsir Ibnu Abbas ini dengan ringkas, dimana beliau menyatakan: “Yang dimaksud ayat ini ialah takbir-takbir di malam Iedul Fitri.” Juga Al-Baghawi membawakan riwayat Al-Imam As-Syafi'i yang memberitakan bahwa para Imam kalangan Tabi'ien yaitu Said bin Al-Musayyib, Urwah bin Az-Zubair, Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf, mereka telah memberitakan bahwa para Shahabat Nabi shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam bertakbir pada malam Iedul Fitri dan mereka menyuarakan takbir itu.”
Al-Imam Ibnu Hazm Al-Andalusi dalam Al-Muhalla nya jilid 3 halaman 304 masalah ke 548 menyatakan: “Bertakbir pada malam Iedul Fitri adalah wajib, sedangkan takbir di malam Iedul Adl-ha adalah baik. Allah Ta`ala berfirman (kemudian beliau menukilkan penggalan akhir surat Al-Baqarah 185, dan setelah itu beliau menyatakan) maka dengan telah disempurnakannya puasa Ramadhan, wajib atas orang yang berpuasa itu untuk bertakbir dan cukuplah untuk melaksanakan kewajiban ini dengan sekali takbir. Akan tetapi malam Iedul Adhha dan siang harinya serta siang hari Iedul Fitri, maka bertakbir padanya tidak diperintahkan. Akan tetapi bertakbir padanya adalah perbuatan yang baik dan mendapat pahala.”
Demikianlah keterangan para Ulama tentang anjuran Allah Ta`ala untuk bertakbir sebagaimana yang dinyatakan oleh-Nya di ayat tersebut di atas. Jadi kita menyambut Iedul Fitri dengan menyuarakan takbir di mana-mana sejak malam hari raya sampai selesai pelaksanaan shalat Ied.
2). Kemudian diwajibkan pula atas setiap Muslim besar ataupun kecil, tua ataupun muda, lelaki ataupun perempuan, budak belian ataupun merdeka, untuk menunaikan zakat fitrah dalam bentuk makanan pokok (apakah beras atau yang lainnya) sebanyak kurang lebih dua setengah kilogram untuk setiap jiwa. Makanan tersebut diberikan kepada faqir miskin dengan ketentuan waktu sejak malam Hari Raya sampai sebelum menunaikan shalat Iedul Fitri. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan dalam Al-Bukhari dalam Shahih nya hadits ke 1503, bahwa Abdullah bin Umar bin Al-Khatthab radliyallahu `anhuma telah menyatakan: “Diwajibkan oleh Rasulullah shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam untuk mengeluarkan zakat fitrah sejumlah satu sha' (yakni setara kurang lebih dengan satu setengah kilo gram, pent) dari kurma, atau satu sha' dari gandum (yakni makanan pokok yang dikenal di waktu itu, pent). Kewajiban ini dibebankan atas hamba sahaya dan orang merdeka, laki-laki dan perempuan, anak kecil dan orang besar dari kalangan kaum Muslimin. Dan diperintahkan untuk ditunaikan zakat itu sebelum orang keluar dari rumah mereka untuk menunaikan shalat Ied.”
Adapun yang bertanggung jawab melaksanakan kewajiban ini adalah pimpinan keluarga yang dalam hal ini adalah suami atau wali keluarga tersebut.
3). Disunnahkan untuk mandi di pagi harinya dengan niat untuk menunaikan shalat Ied sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma dari perbuatan Nabi shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam (HR. Ibnu Majah dalah Sunan nya hadits ke 1315) . Dan hal ini juga diamalkan oleh para Shahabat Nabi shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Muwattha' nya dimana Nafi' meriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar bin Al Khatthab radliyallahu `anhuma mandi pada Iedul Fitri sebelum keluar ke lapangan untuk menunaikan Shalat Ied. (HR. Malik dalam Muwattha' nya jilid 1 halaman 94). Al-Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni jilid 2 halaman 112 masalah ke 1397 menyatakan bahwa di samping Ibnu Umar yang melakukan mandi untuk shalat Ied ini, Ali bin Abi Thalib radliyallahu `anhu juga melakukannya. Dan dari kalangan Tabi'in yang melakukan amalan ini disebutkan oleh beliau adalah Alqamah, Urwah bin Az-Zubair, Atha', Ibrahim An-Nakha'i, Amir bin Syarahil Asy-Sya'bi, Qathadah bin Di'amah. Juga disebutkan dari kalangan Tabi'it Tabi'in yang mengamalkannya ialah Abuz Zinad, Malik bin Anas dan As-Syafi'i dan juga Ibnu Mundzir.
4). Setelah mandi, disunnahkan untuk memakai pakaian yang paling bagus dari yang dimiliki serta bagi pria memakai wangi-wangian. Hal ini sebagaimana telah diriwayatkan dari perbuatan Nabi shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam , bahwa beliau berpakaian dengan pakaian yang paling bagus ketika menyiapkan diri hendak berangkat ke lapangan untuk menunaikan shalat Ied (dibawakan beberapa riwayat tentang ini oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni jilid 2 halaman 113 masalah ke 1398). Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan dalam Fathul Bari riwayat ibnu Abid Dunya dan Al-Baihaqi bahwa Ibnu Umar memakai pakaian yang paling bagus yang dipunyai untuk merayakan Idul Fitri dan Iedul Qurban. Ibnu Hajar meyakini bahwa riwayat tersebut shahih. ( Fathul Bari jilid 2 halaman 439).
5). Ketika akan berangkat menunaikan Shalat Iedul Fitri disunnahkan untuk makan atau minum terlebih dahulu. Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih nya hadits ke 953 dari Anas bin Malik, beliau menyatakan: “Rasulullah shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam terbiasa bahwa beliau tidak berangkat untuk shalat Iedul Fitri kecuali sebelumnya makan beberapa butir kurma. Dan beliau memakan jumlah butir kurma yang ganjil (yakni tiga butir atau lima butir dan seterusnya, pent).”
6). Diwajibkan pimpinan keluarga untuk membawa segenap keluarganya ke lapangan guna meramaikan pelaksanaan shalat Ied. Hal ini sebagaimana telah diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih nya hadits ke 974 dari Ummi Athiyyah radliyallahu `anha bahwa beliau memberitakan: “Kami diperintah oleh Nabi shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam untuk membawa keluar ke lapangan shalat Ied para wanita yang sedang haidh dan perawan pingitan. Dan wanita yang sedang haidh menempati tempat yang khusus terpisah dari tempat shalat.”
Bahkan dalam Shahih Al-Bukhari hadits ke 980 dari Hafshah bintu Sirin dari Ummu Athiyyah bahwa pernah ditanyakan kepada Rasulullah shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam , apakah para wanita yang tidak punya jilbab diijinkan untuk tidak berangkat ke lapangan? Hal ini dijawab oleh Nabi shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam : “Hendaknya saudaranya sesama Muslimah meminjamkan jilbabnya kepada yang tidak punya jilbab, agar mereka menyaksikan kebaikan di hari itu dan menyaksikan dakwahnya Muslimin.”
7). Disunnahkan pelaksanaan shalat Ied itu di lapangan dan bukan di masjid. Karena Nabi Muhammad shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam melaksanakan shalat Ied di lapangan meskipun Masjid Nabawi itu adalah seribu kali lipat keutamaannya dari masjid-masjid manapun di seluruh dunia kecuali Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha. Demikian pelaksanaan shalat Ied itu di lapangan sebagaimana dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim dan Nasa'i dari Abu Sa'id Al-Khudri radliyallahu `anhu .
8). Disunnahkan berangkat ke lapangan dan pulangnya mengambil jalan yang berbeda. Hal ini dicontohkan oleh Nabi shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam sebagaimana yang diberitakan oleh Jabir bin Abdullah Al-Anshari radliyallahu `anhuma , bahwa Nabi shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam berangkat ke lapangangan dan pulang daripadanya mengambil jalan yang berbeda. (HR. Bukhari dalam Shahih nya hadits ke 986)
9). Disunnahkan dalam pelaksanaan shalat Iedul fitri untuk diundurkan sampai matahari telah tinggi setinggi satu tombak. Adapun waktu shalat Iedul Qurban diawalkan sepagi mungkin sejak matahari baru saja terbit. Hal ini sebagaimana telah diriwayatkan oleh Shahabat Nabi shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam yang bernama Abdullah bin Busrin radliyallahu `anhuma bahwa Nabi shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam selesai menjalankan Shalat Iedul Fitri ketika awal waktu shalat Dluha ( HR. Bukhari dalam Shahih nya hadits mu'allaq (yakni tidak bersanad) dalam keterangan hadits ke 968) . Disunnahkan pula setelah selesai menunaikan shalat untuk mendengarkan dengan khidmat khutbah Ied.
10). Disunnahkan setelah pelaksanaan shalat Ied itu untuk menampakkan suasana kegembiraan dengan mengadakan berbagai atraksi permainan apapun yang menimbulkan kegembiraan tetapi dengan syarat tidak melanggar apa saja yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Bahkan dibolehkan di Hari Raya itu untuk menabuh gendang, ketipung dan sejenisnya. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Aisyah Ummul Mukminin dalam Shahih Al-Bukhari hadits ke 949.
11). Disunnahkan pula dalam suasana Ied itu untuk saling mengucapkan lafadh taqabbalallahu minna wa minkum (Artinya: “Semoga Allah menerima ibadah kita dan ibadah kalian”). Hal ini sebagaimana telah diterangkan tentang perbuatan para Shahabat Nabi shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari jilid 2 halaman 446 sebagai berikut: “Dan telah diriwayatkan kepada kami dalam kitab Al-Muhamiliyyat dengan sanad yang hasan dari Jubair bin Nufair, bahwa beliau menyatakan: Para Shahabat Rasulullah shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam biasanya bila bertemu satu dengan lainnya di Hari Raya, saling mengucapkan satu dengan lainnya: Taqabbalallhu minna wa minka.
Demikianlah beberapa tuntunan Sunnah Nabi shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam dalam merayakan hari Iedul Fitri dengan niat dalam rangka menyempurnakan ibadah puasa kita di bulan Ramadhan. Semoga Allah menjadikan Hari Raya kita penuh barakah dan kegembiraan dalam bersyukur kepada nikmat-Nya. Dan semoga kita dijadikan oleh-Nya menjadi hamba-Nya yang suka bersyukur kepada nikmat-Nya yang tak terhingga. Amin Ya Mujibas sa'ilin .

Al Ustadz Ja'far Umar Thalib

hukum isbal(memakai pakaian hingga menutup mata kaki)

 Oleh
Syaikh Abdullah Bin Jarullah Al-Jarullah



HUKUM MENURUNKAN PAKAIAN (ISBAL) BAGI PRIA
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Apa yang ada di bawah kedua mata kaki berupa sarung (kain) maka tempatnya di neraka" [Hadits Riwayat Bukhari]

Dan beliau juga berkata lagi:

"Artinya : Allah tidak akan melihat orang yang menyeret sarungnya karena sombong".

Dan dalam sebuah riwayat yang berbunyi :

"Artinya : Allah tidak akan melihat di hari kiamat kepada orang-orang yang menyeret pakaiannya karena sombong." [Hadits Riwayat Malik, Bukhari, dan Muslim]

Dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda :

"Artinya : Ada tiga golongan yang tidak akan dilihat oleh Allah hari kiamat, tidak dilihat dan tidak disucikan (dari dosa) serta mendapatkan azab yang sangat pedih, yaitu pelaku Isbal (musbil), pengungkit pemberian dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu." [Hadits Riwayat Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, Ibn Majah, Nasa'i]

Musbil (pelaku Isbal) adalah seseorang yang menurunkan sarung atau celananya kemudian melewati kedua mata kakinya. Dan Al Mannan yang tersebut pada hadist di atas adalah orang yang mengungkit apa yang telah ia berikan. Dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu adalah seseorang yang dengan sumpah palsu ia mempromosikan dagangannya. Dia bersumpah bahwa barang yang ia beli itu dengan harga sekian atau dinamai dengan ini atau dia menjual dengan harga sekian padahal sebenarnya ia berdusta. Dia bertujuan untuk melariskan dagangannya.

Dalam sebuah hadist yang berbunyi :

"Artinya : Ketika seseorang berjalan dengan memakai prhiasan yang membuat dirinya bangga dan bersikap angkuh dalam langkahnya, Allah akan melipatnya dengan bumi kemudian dia terbenam di dalamya hingga hari kiamat. [Mutafaqqun 'Alaihi]

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Isbal berlaku pada sarung, gamis, serban. Siapa yang menurunkan sedikit saja karena sombong tidak akan dilihat Allah pada hari kiamat." [Hadits Riwayat Abu Dawud dengan sanad Shahih]

Hadist ini bersifat umum. Mencakup pakaian celana dan yang lainnya yang yang masih tergolong pakaian. Rasulallah Shallallahu 'alaihi wassalam mengabarkan dengan sabdanya :

"Artinya : Sesungguhnya Allah tidak menerima shalat seseorang yang melakukan Isbal." [Hadits Riwayat Abu Dawud dengan sanad yang shahih. Imam Nawawi mengatakan di dalam Riyadlush Shalihin dengan tahqiq Al Arnauth hal: 358]

Melalui hadist-hadist Nabi yang mulia tadi menyatakan bahwa menurunkan pakaian di bawah kedua mata kaki dianggap sebagai suatu perkara yang haram dan salah satu dosa besar yang mendapatkan ancaman keras berupa neraka. Memendekkan pakaian hingga setengah betis lebih bersih dan lebih suci dari kotoran-kotoran. Dan itu juga merupakan sifat yang lebih bertakwa kepada Allah. Oleh karena itu, wajib bagimu -wahai saudaraku muslimin-, untuk memendekkan pakaianmu diatas kedua mata kaki karena taat kepada Allah Ta'ala dan RasulNya. Dan juga kamu melakukannya karena takut akan hukuman Allah dan mengharapkan pahala-Nya. Agar engkau menjadi panutan yang baik bagi orang lain. Maka segeralah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan melakkukan taubat nasuha (bersungguh-sungguh) dengan terus melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta'ala. Dan hendaknya engkau menyesali atas apa yang telah engkau lakukan, berupa sikap tidak taat kepada Allah. Hendaknya engkau sungguh-sungguh tidak untuk tidak megulangi perbuatan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dimasa mendatang, karena Allah menerima taubat orang yang mau bertaubat kepada-Nya, karena ia maha Penerima Taubat lagi maha Penyayang.

Ya Allah, terimalah taubat kami, sungguhnya engkau maha Penerima Taubat lagi maha Penyayang.

Ya Allah, berilah kami dan semua saudara saudara kami kaum muslimin bimbingan untuk menuju apa yang engkau ridloi, karena sesungguh-Nya engkau maha Kuasa terhadap segala sesuatu. Dan semoga shalawat serta salam tercurahkan kepada Muhammad, keluarganya dan sahabatnya.

[Disalin dari kitab Tadzkiirusy Syabaab Bimaa Jaa'a Fii Isbaalis Siyab, edisi Indonesia Hukum Isbal Menurunkan Pakaian Dibawah Mata Kaki, alih bahasa Muhammad Ali bin Ismail, Terbitan Maktabah Adz-Dzahabi]

Hukum Mencukur Bulu Alis


Tanya:
Apa hukum menghilangkan atau memendekkan sebagian dari kelebihan bulu alis?
Jawab:
Menghilangkan bulu alis, apakah itu dengan mencabutnya maka yang demikian termasuk kategori An Namshu, dalam riwayat shahih dinyatakan:
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam melaknat wanita yang mencabut bulu alisnya (An Naamishah) dan wanita yang minta dicabut bulu alisnya (Al Mutanammishah)”. (HR. Bukhari no. 4886 dan Muslim no. 2125)
Berdasarkan riwayat tersebut, maka perbuatan yang demikian ini termasuk dari dosa-dosa besar. Mencabut kedua bulu alis mata pada umumnya dilakukan oleh para wanita untuk mempercantik dirinya. Namun jika seandainya dari kalangan laki-laki juga ada yang melakukannya, maka laknat baginya sama halnya seperti wanita yang mencabut kedua alisnya –wal ‘iyadzubillah-. Dan apabila bukan mencabutnya melainkan mengguntingnya atau mencukurnya, maka sebagian Ulama menyatakan bahwa tindakan tersebut termasuk mencabutnya. Karena dengan sebab perbuatannya itu dia telah merubah ciptaan Allah.
Jadi tidak ada perbedaan antara mencabut, menggunting dan mencukurnya. Maka wajib atas laki-laki dan wanita untuk menjauhi kebiasaan jelek tersebut.

Jilbab Wanita Muslimah




Peran Islam dalam menjaga dan memuliakan kaum wanita sarat akan hikmah dan bertumpu pada asas keadilan. Makna yang terkandung dalam hikmah berupa jaminan kemaslahatan hidup didunia dan akhirat, yang terkadang tidak bisa dimengerti atau dipecahkan jika semata-mata mengandalkan pendekatan rasional. Sedangkan prinsip keadilan tidak melulu diterjemahkan sama rata ataupun sama rasa, sebagaimana yang dipahami secara sempit oleh kebanyakan orang, akan tetapi hakikat keadilan itu adalah meletakkan segala sesuatu pada tempatnya sebagai lawan daripada kedzhaliman. Berangkat dari hikmah yang mendalam dan asas keadilan tersebut, Islam hendak meninggikan derajat kaum wanita dengan setinggi-tinggi pemuliaan dan sebaik-baik penjagaan. Ini terbukti bahwa tidak ada satu pun dari agama yang memiliki fokus perhatian dalam membimbing kaum wanita kepada kemaslahatan melainkan Islam.
Diantara bentuk kemaslahatan yang diwariskan Islam kepada kaum wanita adalah perintah mengulurkan jilbab ke seluruh tubuh mereka. Hal ini merupakan kewajiban yang Allah tetapkan atas setiap muslimah ketika mereka berhadapan dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Disamping itu, mengenakan jilbab merupakan hajat hidup mereka guna melindungi diri dari segala bentuk gangguan dan atau pelecehan seksual yang kerap dilakoni orang-orang munafik sejak dulu maupun sekarang. Allah Ta’ala berfirman:
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al Ahzab: 59)
Ayat ini tegas menjadi dalil atas wajibnya mengenakan jilbab bagi setiap muslimah. Kewajiban mengenakan jilbab dalam ketentuan syari’ah sepadan dengan kewajiban-kewajiban lainnya yang telah diatur dalam agama. Hal ini bertolak belakang dengan anggapan sebagian orang yang menyatakan bahwa jilbab merupakan produk budaya, atau ketentuan yang terikat secara kondisional sehingga hukumnya “boleh-boleh saja” dikenakan.
Para pembaca perlu mengerti, dalam sejarah penetapan hukum syari’ah (tarikh tasyri’) telah digambarkan bahwa kebudayaan wanita-wanita Arab jahiliyah sebelum diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam ialah dalam keadaan terbuka auratnya, bahkan telanjang bulat ketika thawaf di Ka’bah. “Mereka melemparkan pakaian mereka dan meninggalkannya tergeletak di atas tanah. Mereka tidak lagi mengambil pakaian tersebut untuk selamanya, membiarkannya terinjak-injak oleh kaki orang-orang yang lalu lalang hingga pakaian tersebut usang. Demikian kebiasaan jahiliyah yang dinamakan Al-Liqa’ ini berlangsung hingga datanglah Islam dan Allah memerintahkan mereka untuk menutup auratnya, sebagaimana dalam firman-Nya surat Al-A’raf ayat 31.” (Syarh Shahiih Muslim, Al-Imam An-Nawawi, 18/369).
Maka sungguh tidak relevan jika anggapan tersebut kita korelasikan dengan kenyataan budaya Arab pada masa pra-Islam.
Adapun setelah itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam mewajibkan kepada isteri-isteri beliau, anak perempuan beliau dan wanita-wanita kaum Mu’minin untuk mengulurkan jilbab ke seluruh tubuh mereka. Ini menunjukkan bahwa jilbab bukanlah produk budaya Arab, akan tetapi murni wahyu dari Allah yang turun kepada Nabi-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam guna diamalkan oleh segenap ummatnya dari kalangan Muslimah dimanapun mereka berada sampai datangnya hari Kiamat.
Namun yang masih menjadi persoalan ialah biasnya definisi jilbab yang dipahami ditengah masyarakat kita. Masing-masing orang mendefinisikannya sesuai dengan selera gaya hidupnya yang beragam, bahkan tuntutan karir pun tak pelak dijadikan alasan, sehingga muncul istilah jilbab gaul, modis dan berbagai istilah diciptakan guna mengalihkan perhatian Muslimah dari jilbab yang sesuai dengan tuntunan syar’iah.
Para Ulama Salaf maupun Khalaf telah memberikan penjelasan kepada kita secara gamblang berkenaan dengan definisi jilbab yang syar’i berikut syarat-syarat pakaian yang wajib dipenuhi atas setiap Muslimah. Sehingga kita tidak perlu lagi menoleh definisi-definisi lain yang tidak merujuk kepada pertimbangan dalil agama. Karena perkara agama ini adalah perkara yang telah pasti datangnya dari Allah dan Rasul-Nya serta keterangan dari para Ulama-Nya, dan tidak ada sedikit pun celah keraguan yang menghalangi kita untuk beriman kepada-Nya. Semoga uraian ini menjadi sebab kebaikan dan manfaat bagi segenap Muslimah sehingga tidak keliru pasang dan melenceng dari kemestian.
Pengertian Jilbab
Kata “jilbab” ditinjau dari sudut pandang bahasa mengandung beberapa makna:
1. Qamish yakni pakaian lebar dan panjang sejenis jubah.
2. Pakaian yang lebih luas dari khimar (kerudung penutup kepala) selain rida’ (selendang) yang berfungsi menutupi kepala dan dada wanita.
3. Pakaian lebar selain milhafah (selimut) yang dikenakan oleh seorang wanita.
4. Milhafah (selimut) (Lisaanul ‘Arab, Ibnu Mandzur 2/162)
Adapun dalam pengertian syari’ah sebagaimana yang telah diterangkan oleh para Ulama Ahli Tafsir diantaranya Al-‘Allaamah Asy-Syaikh ‘Abdurrahman Bin Naashir As-Sa’di Rahimahullah bahwa jilbab adalah kain yang dikenakan diatas pakaian (milhafah, khimar, rida’ dan semisalnya) yang berfungsi menutupi wajah-wajah dan dada-dada mereka para wanita. (Taisirul Kariimir Rahman Fii Tafsiiri Kalaamil Mannaan, Tafsir Surat Al-Ahzab ayat 59).
Demikian keterangan Para Ulama dalam mendefinisikan jilbab menurut pandangan syari’ah. Maka tidak tepat jika seorang muslimah mencukupkan diri dengan mengenakan khimar (kerudung mini penutup kepala atau jilbab gaul) sebagai pakaian utama tanpa melapisinya dengan jilbab. Karena pengertian jilbab itu sendiri ialah kain yang ukurannya lebih panjang dari khimar yang dilabuhkan diatasnya.
Syarat-syarat Pakaian Muslimah:
1. Menutup seluruh tubuh
Syarat pertama yang wajib dipenuhi oleh seorang muslimah dalam berpakaian ialah menutupi seluruh tubuhnya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al Ahzab: 59)
Para Ulama Ahli Hadits telah bersepakat mengenai wajibnya menutup seluruh tubuh bagi Muslimah (Shahih Fiqhus Sunnah, 3/29), namun yang masih menjadi perdebatan hingga saat ini ialah persoalan hukum antara wajib dan afdhal-nya menutup wajah dan telapak tangan bagi mereka. Untuk masalah ini ada artikel menarik yang membahas secara spesifik beragam pendapat para Ulama yang mendasari fatwa mereka, silakan baca artikel yang berjudul “Aurat Muslimah” pada menu Nasehat Muslimah. Dalam uraian artikel tersebut penulis juga membimbing pembaca yakni bagaimana menempatkan dan mengamalkan pendapat para Ulama yang saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya, wallahul muwaffiq.
2. Bukan Berfungsi Sebagai Perhiasan
Hal ini yang tampaknya masih menjadi kesimpangsiuran pada pemahaman sebagian muslimah disekitar kita. Berangkat dari sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam: “Sesungguhnya Allah maha indah dan menyukai keindahan” mereka memfungsikan pakaiannya -yang menurut keumuman orang- sebagai perhiasan. Dengan mengenakan pakaian bercorak stylish dan bernuansa dekoratif serta perpaduan berbagai bahan membuat mereka tampil lebih modis dan menawan dihadapan laki-laki asing yang bertengger di jalan-jalan. Sementara keindahan yang ada dalam benak kita belum tentu serupa dengan keindahan yang ada disisi Allah Ta’ala. Karena keindahan menurut Allah adalah menjalankan segala sesuatu yang diperintahkan oleh Allah dalam tuntunan syari’at-Nya serta mejauhi segala larangan-Nya walaupun keumuman manusia memandangnya berbeda, diantara tuntunan syari’ah Allah adalah sebagai berikut:
Dan janganlah mereka (para wanita) menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya”. (An-Nuur: 31)
Maka berdasarkan keumuman lafadzh ayat diatas meliputi pakaian dzhahir (fisik) jika pakaian tersebut berfungsi sebagai perhiasan yang menarik perhatian laki-laki untuk melihatnya. (Shahih Fiqhus Sunnah, 3/33).
Al-‘Allaamah Asy-Syaikh ‘Abdurrahman Bin Naashir As-Sa’di Rahimahullah menyatakan: Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya” yakni seperti pakaian yang indah (yang berfungsi sebagai perhiasan), dan juga perhiasannya, serta seluruh tubuhnya termasuk dari perhiasan, juga pakaian dzhahir jika memang berfungsi sebagai perhiasan. “Kecuali yang (biasa) tampak darinya” yakni pakaian dzhahir yang biasa dikenakan selama tidak menimbulkan fitnah. (Taisirul Kariimir Rahman Fii Tafsiiri Kalaamil Mannaan, Tafsir Surat An-Nuur ayat 31).
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam telah memberikan peringatan kepada kita tentang golongan orang-orang yang binasa, diantaranya wanita yang suka berhias diri dihadapan laki-laki yang bukan mahramnya:
“…..dan seorang istri yang jauh dari suaminya, padahal suaminya telah mencukupkan dia dengan memberikan fasilitas dunia, akan tetapi kemudian dia bertabarruj setelah itu…..”. (HR. Ahmad 23827 6/19 Sanad-nya Shahiih)
Pengertian tabarruj yakni seorang wanita menampakkan perhiasannya dan bagian-bagian keindahan tubuhnya yang sesungguhnya wajib atas mereka untuk menutupinya karena hal tersebut dapat mengundang syahwat pria. (Shahiih Fiqhus Sunnah 3/33, Abu Malik Kamal menukil dari Fathul Bayaan 7/274)
Demikian larangan Allah dan Rasul-Nya terhadap wanita yang suka berhias diri bukan pada tempatnya. Jadi tidak tepat jika memfungsikan pakaian sebagai perhiasan, karena tujuan perintah jilbab itu sendiri adalah untuk menutupi perhiasan sebagaimana yang telah diuraikan diatas.
Adapun anggapan sebagian Muslimah yang komitmen dalam menjalankan sunnah berkata: “Bahwa pakaian selain hitam termasuk perhiasan dan tidak ada contohnya!”, tandas mereka. Ucapan ini perlu ditinjau kembali dengan melakukan pembacaan ulang secara kritis terhadap segenap riwayat. Karena telah shahiih berita mengenai istri-istri Nabi dan para Shahabiyah bahwa mereka juga pernah mengenakan pakaian berwarna selain hitam, dan hal ini tidaklah diingkari oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam dan para Shahabatnya sebagaimana yang termaktub dalam Shahiih Al-Bukhari (5823, 5825), Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (8/372) dan sejumlah kitab. Termasuk Fatwa Lajnah Da’immah (5089) yang dipimpin oleh Al-‘Allaamah Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziiz Bin ‘Abdullah Bin Baaz Rahimahullah.
Namun pakaian berwarna hitam lebih utama untuk dikenakan atas wanita, karena yang demikian itu adalah pakaian yang sering dikenakan istri-istri Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam, sebagaimana dalam kisah Shafwaan Bin Al-Mu’aththal As-Sulami Adz-Dzakwaani yang sempat mendapati ‘Aisyah tertinggal dari rombongan dengan mengenakan pakaian berwarna hitam (HR. Bukhari 4141 dan Muslim 2770), dan riwayat yang memberitakan penampilan para Shahabiyah yang digambarkan diatas kepala mereka seperti burung gagak.
3. Kainnya Harus Tebal Yakni Tidak Tipis
Pakaian dengan bahan yang tipis lebih mudah menggambarkan lekuk-lekuk tubuh mereka, dan wanita-wanita yang mengenakan pakaian tipis diluar rumahnya tak ubah seperti orang yang telanjang didepan umum, disadari atau tidak. Pun Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam telah mensinyalir wanita-wanita seperti ini akan muncul diantara umatnya:
“Dua kelompok yang termasuk ahli neraka, aku belum pernah melihatnya……. (dan yang kedua) “wanita kaasiyaat ‘aariyaat”. Mereka tidak masuk surga dan tidak mendapatkan baunya, padahal baunya dapat tercium dari perjalanan sekian dan sekian”. (HR. Muslim 2128)
Kaasiyaat ‘aariyaat adalah wanita-wanita yang mengenakan pakaian tipis, dan tidak menutup auratnya. Yakni berpakaian dari namanya saja, namun pada hakikatnya telanjang. (Shahiih Fiqhus Sunnah 3/34).
4. Harus Longgar Yakni Tidak Ketat
Tidak jarang dari wanita-wanita Muslimah yang kehilangan identitas dirinya terpedaya mengikuti trend berpakaian ketat seperti yang sering kita saksikan sekarang. Padahal pakaian yang ketat akan menyulitkan gerak tubuh mereka, dan saking sempitnya memakainya pun membutuhkan waktu dan tenaga. Berbeda dengan pakaian yang longgar, tubuh akan lebih mudah untuk bergerak dan terasa nyaman untuk dikenakan. Disamping itu, mafsadah yang terbesar dari berpakaian ketat ialah menampakkan tubuh seorang wanita, dan tentunya mengundang syahwat pria-pria yang masih normal mentalnya.
Dari Usamah Bin Zaid Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam memakaikan-ku sebuah pakaian Qubthiyyah (Mesir) yang tebal -dulu pakaian tersebut merupakan hadiah Dihyah Al-Kalbiy kepada beliau- maka aku memakaikannya untuk istriku. Kemudian Rasulullaah Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam berkata kepadaku: “Mengapa tidak kamu pakai baju Qubthiyyah itu?”, aku berkata: “Yaa Rasulallah, aku memakaikannya untuk istriku”. Lantas Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam berkata: “Perintahkanlah ia agar mengenakan baju dalam dibalik baju Qubthiyyah itu, karena aku khawatir baju tersebut masih menggambarkan bentuk tubuhnya”. (HR. Ahmad 21683 5/205, Abu Dawud 4116 Sanad-nya Hasan).
Merujuk sikap Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam diatas, apabila seorang wanita tengah mengenakan pakaian yang cukup longgar namun dikhawatirkan masih menggambarkan bentuk tubuh mereka, maka pada kondisi seperti itu diperintahkan untuk memakai baju dalaman sebagai lapisan. Begitu juga ketika seorang wanita memakai rok namun bagian pinggulnya masih terbentuk, hendaknya dia memakai lapisan dalam dibalik rok tersebut disamping mengenakan jilbab yang panjangnya melebihi pinggul guna menghindari tampaknya bentuk tubuh mereka. Jadi merupakan suatu kesalahan jika hanya mencukupkan diri dengan memakai celana panjang sebagai pakaian utama tanpa melapisinya dengan rok yang lebar hingga menutupi telapak kakinya (agar lebih terjaga kenakan kaos kaki). Karena semata-mata memakai celana panjang akan lebih mudah untuk mengikuti bentuk betis dan lutut mereka, wallahu a’lam.
5. Tidak Memakai Wewangian
Dari Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam bersabda: “Wanita manapun yang mengenakan minyak wangi, kemudian melewati kaum laki-laki agar mereka mencium baunya, maka dia adalah seorang pezina”. (At-Tirmidzi 2786 dan diriwayatkan oleh selain mereka dengan sanad yang Hasan)
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam juga bersabda:
“Wanita manapun yang mengenakan wewangian, maka janganlah dia menghadiri shalat ‘Isya bersama kami”
Juga terdapat hadits-hadits lain yang berkenaan dengan larangan ini. Karena keluarnya para wanita ke jalan-jalan dengan wewangian, dimana pada jalan-jalan tersebut terdapat laki-laki asing dan tempat berkumpulnya mereka seperti di masjid, maka yang demikian ini akan menjadi sebab terbukanya pintu fitnah bagi mereka. Hal ini terjadi karena memang rangsangan laki-laki normal secara psikologis lebih kuat daripada rangsangan wanita pada umumnya, sehingga Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam melarang para wanita memakai minyak wangi ketika berhadapan dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Dan bukan berarti membiarkan mereka tampil kumuh dan bau tak sedap, akan tetapi mereka diperintahkan untuk menjaga kebersihan badan dan pakaian, karena kebersihan itu separuh dari keimanan seseorang sebagaimana yang telah dinyatakan Nabi. Adapun menggunakan produk-produk deterjen yang memang mengandung sedikit wewangian (tidak tercium wanginya dari jarak dekat), dan tidak bisa dihindari, insya Allah tidak mengapa, wallahu a’lam.
6. Tidak Menyerupai Pakaian Laki-Laki
Penyerupaan wanita kepada laki-laki atau sebaliknya dalam berpakaian mengakibatkan penyerupaan mereka dalam hal akhlaq dan tidak pada fitrahnya. Bahkan hal ini telah menjadi pemandangan yang biasa ditengah masyarakat kita, padahal Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam telah melaknat perbuatan nista tersebut sebagaimana yang disaksikan para Shahabatnya:
Dari Abdullah Bin ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: “Rasulullah melaknat (yakni dijauhkan dari rahmat dan ampunan Allah) laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita-wanita yang menyerupai laki-laki”. (Al-Bukhari 5885, At-Tirmidzi 2784, Abu Dawud 4097, Ibnu Majah 1904).
Maknanya tidak boleh bagi laki-laki menyerupai wanita dalam berpakaian dan mengenakan perhiasan yang mana hal tersebut memang dikhususkan untuk wanita, demikian juga sebaliknya. (Shahiih Fiqhus Sunnah 3/36).
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Rasululullah melaknat laki-laki yang berpakaian wanita dan wanita yang berpakaian laki-laki”. (Abu Dawud 4098, Ahmad 8292 2/325 sanad-nya Shahiih).
Batasan pelarangan tasyabbuh (penyerupaan) tidaklah semata-mata berdasarkan pakaian yang dipilih, disukai, atau yang telah menjadi kebiasaan diantara pria dan wanita. Akan tetapi kembali kepada apa yang pantas bagi mereka, yaitu yang pantas bagi wanita adalah dengan mengenakan pakaian tertutup dan tidak bertabarruj dihadapan laki-laki yang bukan mahramnya. Maka dalam pembahasan ini ada dua hal yang dimaksud, pertama adanya perbedaan antara pakaian pria dan wanita, dan yang kedua tertutupnya kaum wanita, dan tidaklah terjadi penyerupaan wanita kepada pria kecuali jika kedua hal tersebut dilakukan secara bersamaan”. (Shahiih Fiqhus Sunnah 3/36).
7. Tidak Menyerupai Pakaian Wanita-wanita Kafir
Telah menjadi ketetapan syari’ah bahwasanya tidak boleh bagi setiap muslim -pria maupun wanita- menyerupai orang-orang kafir, sama saja apakah dalam hal peribadatan mereka, hari raya mereka, atau pakaian-pakaian khusus mereka. Allah Ta’ala blerfirman:
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka degan mengingat Allah dan dengan kebenaran yang telah diturunkan (kepada mereka). Dan janganlah mereka seperti keadaan umat yang diturunkan kitab sebelumnya, dimana mereka berkepanjangan dalam keadaan kososng dari berdzikir kepada Allah serta kosong dari ilmu, sehingga menjadi keraslah hati mereka dan akibatnya kebanyakan mereka menjadi orang-orang yang fasiq”. (Al-Hadiid: 16)
Para Ulama Ahli Tafsir menerangkan firman Allah: “Dan janganlah mereka seperti keadaan umat yang diturunkan kitab sebelumnya”, yakni janganlah mereka (orang-orang yang beriman) meniru perbuatan orang-orang Yahudi dan Nashara yang telah diturunkan kepada mereka kitab Taurat dan Injil sebelum diturunkannya Al-Qur’an.
Rasulullaah Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam juga telah menegaskan dalam sabdanya:
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dari kaum itu”.
Maka cukup memprihatinkan tatkala melihat perangai sebagian kaum Muslimin saat ini tengah mengalami krisis ketauladanan. Mereka yang seharusnya menjadi pelopor dalam kebaikan justru terkondisikan menjadi pengekor kebebasan sebagai akibat penetrasi budaya-budaya kuffar dalam berpakaian, dan hal ini merupakan bentuk genderang perang orang-orang kafir dalam upaya mereka memerangi Islam dan kaum Muslimin. Seharusnya yang dilakukan seorang Muslim adalah membangun kepribadian diri dengan nilai-nilai Islam dan menumbuhkan semangat optimisme dalam menjalani kehidupan. Karena dengan sebab itulah rasa minder yang menghantui perasaan dapat dengan segera hilang, dan tidak akan mudah ikut-ikutan dalam melangkah seperti keadaan kerbau yang ditarik hidungnya ketika berjalan.
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam telah memberikan contoh nyata dalam mengambil sikap, yaitu ketika beliau melihat Shahabatnya mengenakan pakaian yang menjadi ciri khas orang-orang kafir, maka pada detik itu juga beliau langsung menegurnya dalam rangka menjaga kepribadian diri Shahabatnya itu: “Sesungguhnya ini pakaian kuffar, maka janganlah sekali-kali engkau memakainya.” (HR. Muslim 2077, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 25223).
Dan masih banyak lagi nash-nash syar’iyyah yang menegaskan kepada kita bahwa menyerupai orang-orang kafir dalam segala tindak tanduk mereka serta merupakan kekhususan bagi mereka adalah termasuk hal yang tercela. Bahkan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam tengah memberikan ultimatum jika ada diantara umatnya yang bertasyabbuh dengan orang-orang kafir tersebut, maka dia termasuk dari golongan mereka. Semoga Allah menyelamatkan kita dari segala bentuk tasyabbuh kepada orang-orang kafir, dan senantiasa membimbing langkah kita guna memiliki kepribadian yang bernafaskan Islam, amiin yaa mujibas sa’iliin.
8. Bukan Sebagai Pakaian Syuhrah
Hal ini sebagaimana sabda beliau Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam dari Abdullah Bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu:
“Barangsiapa yang mengenakan pakaian Syuhrah (untuk mencari popularitas) didunia, maka Allah akan kenakan padanya pakaian kehinaan pada hari Kiamat, dan kemudian menyala-nyala pada pakaian tersebut api neraka” (HR. Abu Dawud 4029, dan Ibnu Majah 3607 dengan Sanad Hasan Lighairih)
Pakaian Syuhrah adalah semua pakaian yang dikenakan dengan niat untuk mencari popularitas ditengah manusia. Sama saja apakah dalam bentuk pakaian yang bagus, yang dikenakan dalam rangka berbangga-bangga dengan dunia dan perhiasannya, atau pakaian yang bernilai rendah, yang dikenakan dalam rangka menampakkan kezuhudan dan riya’. (Shahiih Fiqhus Sunnah 3/37).
Penutup
Demikian keterangan para Ulama yang mengacu kepada Al-Qur’an Was Sunnah dalam mendefinisikan jilbab berikut syarat-syarat pakaian Muslimah yang wajib dipenuhi atas mereka. Hal ini merupakan tanggung jawab yang sering diabaikan oleh sebagian Muslimah dalam berbusana, dan pada gilirannya akan menambah beban penderitaan yang lebih berat lagi bagi masa depan kehidupan mereka didunia dan akhirat kelak. Bahkan tidak jarang dari Muslimah yang enggan mengenakan jilbab mereka beralasan, “bahwa akhwat yang berjilbab saja belum tentu lebih baik akhlaqnya dari yang tidak berjilbab!", tandasnya. Sesungguhnya kesalahan yang dilakukan seseorang tidak bisa menjadi alasan pembenar bagi kita untuk melakukan kesalahan yang serupa. Dan ketika saudari melihat akhwat berjilbab namun mengecewakan akhlaqnya, tidaklah berarti saudari menanggalkan kewajiban berjilbab yang telah menjadi ketetapan Allah dalam ketentuan syari’ah-Nya, akan tetapi saudari tetap mengenakan jilbab sambil terus berupaya mengkoreksi diri dan orang lain dari kesalahan-kesalahannya. Jilbab termasuk syi’ar-syi’ar agama yang mulia yang Allah nyatakan secara khusus penyebutannya dalam Al-Qur’an, maka tidak pantas bagi siapapun meremehkan jilbab, menghinakannya, apalagi melecehkannya demi bargaining politik semata, semoga hal ini dapat menjadi renungan bagi kita semua.
Fikri Abul Hassan

Hukum Mengenakan Wewangian Bagi Wanita


Bolehkah bagi seorang wanita muslimah keluar menuju sekolah, rumah sakit, mengunjungi karib kerabat dan rumah-rumah tetangganya dalam keadaan memakai wewangian?
Jawab:
Boleh bagi seorang muslimah mengenakan wewangian, apabila dia keluar dalam rangka menemui teman-temannya yang juga dari kalangan wanita dan tidak melewati jalan-jalan yang disana terdapat laki-laki yang bukan mahramnya. Adapun apabila dia keluar dengan mengenakan wewangian menuju pasar-pasar yang didalamnya terdapat pria-pria yang bukan mahramnya, maka jelas yang demikian ini terlarang, sebagaimana yang disabdakan Rasulullaah ‘Alaihish sholaatu wassalam :
“Perempuan mana saja yang mengenakan minyak wangi, maka janganlah dia menghadiri sholat ‘Isya bersama kami”. (Dan juga terdapat hadits-hadits lain yang berkenaan dengan larangan ini).
Karena keluarnya para wanita ke jalan-jalan dalam keadaan memakai wewangian yang mana dijalan-jalan tersebut terdapat laki-laki yang bukan mahramnya dan juga tempat berkumpulnya mereka seperti di masjid; hal inilah yang menjadi sebab terbukanya pintu fitnah bagi mereka para muslimah.
Telah diwajibkan atas mereka untuk menutup auratnya dan menjaga dirinya dari berhias yang tidak pada tempatnya (seperti memakai wewangian dihadapan laki-laki asing yang bukan mahramnya). Allah Ta’ala berfirman :
“Dan Tetaplah kalian (para wanita) dirumah-rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj (berhias bukan pada tempatnya -red) seperti tabarrujnya wanita-wanita jahiliyah”
Jadi menampakkan sesuatu yang akan menimbulkan fitnah atau perhiasan-perhiasan seperti wajah, kepala dan selain keduanya, hal ini termasuk dari perbuatan tabarruj.(http://sahab.com)

Syaikh Abdul Aziz Bin Baaz Rahimahullah

Muhibah Al-Ustadz Ja'far Umar Thalib


Pasang surut da'wah Salafiyah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah di Indonesia telah berlangsung sejak zaman Imam Bonjol di Sumatra Barat atau bahkan sebelumnya sampai sekarang. Saya sendiri telah menjalani da'wah ini sejak bulan Januari th. 1990 M sampai saat ini, juga mengalami sendiri pasang surut perjuangan tersebut. Tetapi da'wah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Indonesia, baru mengakses jaringan internet sejak th. 2000 M melalui laskarjihad.or.id. Suara da'wah terus menyertai ramainya berita-berita Jihad Fii Sabilillaah. Dan kaum Muslimin sangat antusias mengunjungi ajang informasi kami dalam jumlah ratusan ribuan setiap harinya. Sehingga da'wah Salafiyyah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah di mata kaum Muslimin menjadi simbul pembelaan terhadap rakyat Muslimin yang ditumpahkan darahnya dengan zhalim di daerah-daerah konflik di Indonesia. Kemudian pada bulan Oktober th. 2002 M saya membubarkan Laskar Jihad dengan segenap organisasinya, kami pun terpaksa menghilang dari dunia maya untuk sementara waktu. Sehingga sempat simbul-simbul da'wah Salafiyah di manipulasi oleh orang lain yang memanfaatkan harumnya nama baik da'wah ini di kalangan kaum Muslimin

Demi mengamati perkembangan informasi di media internet yang sangat memerlukan informasi Da'wah Salafiyah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Indonesia yang sebenarnya. Maka anak-anakku para sarjana informatika di Jogjakarta menyatakan kebulatan tekad mereka untuk menjadi garda pengawal pundi-pundi informasi positif melalui media internet ini. Dan tampillah http://alghuroba.org mengunjungi anda untuk ikut berbagi rasa dengan suka duka kaum Muslimin dalam mengarungi problematika hidup di dunia ini. Semoga Allah Ta'ala menganugerahkan keikhlasan dan istiqomah di atasnya kepada para mujahid opini ini serta memberkahi amal usaha para tekhnisi penyaji pojok media ini dan menerima amal usaha mereka sebagai amalan sholih yang mengangkat derajat mereka di dunia dan akhirat. Amin Ya Mujibas sa'ilin.
Misi yang dikembangkan di sini ialah : Dua ujung tombak perjuangan Da'wah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah yang diwarisi oleh para pelaku da'wah ini dari para pendahulu yang Shalih atau terkenal dengan istilah Salafus Shalih. Yaitu :

1. Penumbuhan kembali pemahaman tentang agama Islam dengan benar, tegas dan lugas yang berisi pembekalan ilmu tentang Al Qur'an dan Al Hadits sesuai dengan apa yang diwariskan oleh Salafus Shalih.


2. Pencerahan kembali berbagai kerancuan dan kesimpangsiuran pemahaman tentang agama ini, dengan membantah secara ilmiyah berbagai penyimpangan pemahaman tersebut.
Ummat Islam tentunya sangat berkepentingan untuk dapat berlangsungnya dengan lancar kedua misi da'wah tersebut, disadari atau tidak. Dan kami, di tahun 2007 ini, akhirnya terpanggil untuk berkunjung kembali ke media anda dengan kedua misi tersebut. Semoga anda ikut bergembira dengan kemunculan kembali media ini kemudian ikut memilikinya dengan ikut menyampaikan tegur sapa kritik dan saran untuk kami. Terima kasih atas empati anda dan selamat menikmati sajian kami.


Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh



Al Ustadz Ja'far Umar Thalib

Membangun Amal Islami

Dari Mu’adz bin Jabal, dia menceritakan: Aku pernah bersama Nabi shallallahu `alaihi wa ‘ala aalihi wasallam dalam satu perjalanan jauh. Di suatu pagi dalam perjalanan itu aku berjalan sangat dekat dengan beliau. Aku pun bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah, beritahu aku tentang amalan yang akan memasukkan aku ke surga dan menjauhkan aku dari api neraka.” Nabi menanggapi permintaanku itu dengan menyatakan: “Sungguh engkau meminta kepadaku sesuatu yang besar, dan sungguh hal itu akan mudah dicapai bagi mereka yang dimudahkan oleh Allah atasnya. (Amalan yang memasukkan kamu ke surga itu ialah) engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan engkau menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan engkau berpuasa di bulan Ramadhan, dan engkau menunaikan haji ke Baitillah Al-Haram (di Makkah).”
Kemudian beliau bertanya padaku: “Maukah aku tunjukkan kepadamu tentang pintu-pintu kebaikan? Yaitu bahwa puasa itu adalah tameng dan shadaqah itu menggugurkan dosa sebagaimana air dapat memadamkan api, dan juga (yang menggugurkan dosa itu ialah) shalatnya seseorang di tengah malam (yakni shalat malam). Kemudian beliau membaca ayat Al-Qur’an (surat As-Sajdah 16 –17 yang artinya):
Mereka tidak tidur di tengah malam untuk berdoa kepada Tuhan mereka dengan rasa takut dan harap dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Maka tidak ada seorangpun yang mengetahui tentang apa yang disembunyikan untuk mereka (yaitu berbagai macam kenikmatan di surga) dari segenap nikmat-Nya yang akan menyenangkan, sebagai balasan terhadap apa yang mereka amalkan.”
Kemudian beliau bertanya padaku lagi: “Maukah aku beritahu engkau tentang perkara dari semuanya ini dan tentang tonggaknya, serta puncaknya?”
Aku menjawab: “Tentu wahai Rasulallah, aku menginginkannya.”
Maka beliau pun bersabda: “Pokok perkara dari semua itu adalah Islam, dan tiangnya adalah shalat dan puncak tertingginya adalah jihad.”
Beliau bertanya lagi kepadaku: Maukau aku beritahu engkau tentang penyempurna bagi semua itu?”
Maka akupun menjawab: “Tentu aku menginginkannya wahai Rasulallah.”
Beliau bersabda: (Penyempurna bagi semua itu adalah) Tahanlah olehmu dari ini.” sembari beliau memegang lisan beliau.
Aku bertanya: Wahai Nabi Allah, apakah kita akan disiksa hanya karena apa yang kita bicarakan?”
Beliau menjawab: “Ibumu kehilangan engkau, bukankah orang-orang itu dilemparkan di dalam api neraka tertelungkup pada wajah-wajah mereka, tidak lain sebabnya kecuali karena hasil dari lisan mereka?” (HR. Tirmidzi dalam Sunannya juz 5 hal. 13 bab Maa Jaa’a fi Hurmatis Shalah, hadits no. 2616,. Dan At-Tirmidzi menyatakan: Hadits ini hasan shahih).

BEBERAPA PENGERTIAN

Bi amalin : “Dengan suatu amalan.” Yakni suatu amalan yang dilakukan oleh seorang yang telah beriman dan berislam.
Yudkhiluni al-jannata wa yuba’iduni aninnar: “Yang memasukkan aku ke surga dan menjauhkan aku dari neraka.” Yakni amalan yang menjadi sebab datangnya rahmat Allah sehingga dengan rahmat-Nya itu aku masuk surga dan terhindar dari api neraka.
Laqad sa’altani `an adzimin: “Sungguh engkau meminta kepadaku tentang suatu yang besar.” Yakni yang engkau tanyakan kepadaku itu adalah tentang amalan yang berat bagi kebanyakan orang.
Wa innahu layasirun: “Dan sesungguhnya ia adalah mudah.” Yakni sesungguhnya amalan yang memasukkan orang Islam atau orang Mu’min ke surga Allah dan menjauhkannya dari neraka Allah adalah mudah dan ringan bagi yang dimudahkan dan diringankan oleh Allah.
`Ala man yassarahullah `alaihi: “Bagi mereka yang dimudahkan oleh Allah atasnya.” Yakni mereka yang diberi hidayah dan taufiq oleh Allah untuk beramal dengan amalan yang memasukkannya ke surga-Nya dan menjauhkannya dari neraka-Nya.
Ta`budullaha: “Engkau beribadah kepada Allah.” Yakni amalan yang akan memasukkanmu ke surga dan menjauhkanmu dari neraka ialah beribadah kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya dalam segala macam peribadatan, sehingga segala macam peribadatan itu dipersembahkan kepada Allah semata.
Wala tusyriku bihi syai’an: “Dan engkau tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun.” Yakni tidak berbuat syirik sedikitpun, yang berarti tidak mempersembahkan amalan ibadah apa pun untuk siapa pun selain Allah.
Watuqimus shalah: “Dan engkau menegakkan shalat.” Yakni juga merupakan amalan yang memasukkanmu ke dalam surga serta menjauhkanmu dari api neraka, adalah menegakkan shalat disamping tauhid tersebut. Adapun pengertian menegakkan shalat di sini, maknanya ialah menunaikannya dengan segenap rukun dan syaratnya serta amalan-amalan sunnah dalam shalat yang merupakan penyempurnanya.
Wa tu’tizzakah: “Dan engkau menunaikan zakat.” Yakni membayar shadaqah yang wajib kepada petugas zakat dan shadaqah yang ditunjuk oleh pemerintah Muslimin, sebagai kewajiban agama atas kaum Muslimin. Dan menunaikan kewajiban ini termasuk dari amalan yang memasukkan pelakunya ke dalam surga Allah dan menjauhkannya dari neraka Allah.
Watashumu ramadhana: “Dan engkau menunaikan puasa Ramadhan.” Yakni berpuasa dengan puasa yang wajib sepanjang bulan Ramadhan, sebagai kewajiban agama yang memasukkan pelakunya kedalam surga Allah dan menjauhkannya dari neraka Allah.
Watahujjul baita: “Dan kamu menunaikan haji ke Baitillah Al-Muharram di Makkah.” Yakni menunaikan kewajiban haji ke Makkah Al-Mukarramah di bulan-bulan haji. Ini juga merupakan kewajiban agama yang memasukkan pelakunya ke dalam surga Allah dan menjauhkannya dari neraka Allah.
Ala adulluka `ala abwabil khair: “Maukah aku tunjukkan kepadamu tentang pintu-pintu kebaikan.” Yakni maukah aku tunjukkan kepadamu jalan-jalan yang akan menyampaikanmu kepada kebaikan.
As-shaumu junnah: “Puasa itu adalah tameng.” Yakni ibadah puasa itu baik yang wajib maupun yang sunnah adalah amalan yang akan melindungi pelakunya dari berbagai amalan yang menjerumuskan ke neraka. Karena ibadah puasa itu memecahkan kekuatan syahwat serta melemahkannya.
Was shadaqatu tutfi’ul khati’ah: “Dan shadaqah itu menggugurkan dosa.” Yakni amalan shadaqah yang wajib maupun yang sunnah akan menjadi sebab datangnya keridlaan Allah dan rahmat-Nya sehingga mengampuni hamba-Nya yang bershadaqah itu dari segala dosa yang berkaitan dengan haq Allah Ta`ala. Adapun dosa yang berkaitan dengan hak sesama manusia, maka harus menyelesaikan urusan dosa itu dengan pihak yang didhalimi.
Washalatur rajuli min jaufil laili: “Dan shalatnya seseorang di tengah malam.” Yakni termasuk penghapus dosa-dosa itu adalah shalat malam yang dilakukan di waktu yang paling utama, yaitu sepertiga terakhir malam.
Ra’sil amri al-islam: “Pokok dari segala perkara tersebut adalah Al-Islam.” Yakni pokok segala amalan shalih yang bercabang dari padanya segenap amalan shalih itu. Atau dengan kata lain, landasan bagi segenap amalan shalih itu adalah ketika seorang telah beriman dengan kebenaran agama Islam. Kemudian di atas dasar keimanannya itu dia membangun segenap amalan shalihnya.
Wa amuduhu as-shalatu: “Dan tiangnya adalah shalat.” Yakni keislaman seseorang itu tidak akan menjadi kuat, kecuali dia menunaikan shalat yang wajib dan sunnah dengan terus menerus. Sehingga kuatlah keislamannya sebagaimana bangunan itu bila telah dibangun diatas fondasinya dan dilengkapi dengan tiang-tiang penyangga yang didirikan di atas fondasi itu, maka bangunan itu akan menjadi kuat.
Wa dzarwatu sanamihi al-jihad: “Dan puncak tertinggi daripada segala amalan shalih dalam Islam itu adalah Jihad.” Yakni dengan jihad, keislamanmu akan terangkat mulia setelah dikuatkan dengan shalat. Dan juga di sini menunjukkan bahwa jihad itu adalah amalan shalih dalam Islam yang paling tinggi, melampaui segala amalan shalih yang lainnya.
Bi malaki dzalik: “Penyempurna dan penguat bagi semua amalan shalih itu.” Yakni yang akan menjaga kesempurnaan dan keindahan segenap amalan itu adalah dengan menjaga lisan.
Kuffa `alaika hadza: “Wajib kamu menjaga lisanmu ini.” Yakni menjaganya untuk jangan berbicara yang tidak berguna. Karena barang siapa banyak berbicara, apalagi asbun (asal bunyi), maka akan terjatuh dalam banyak kesalahan yang akan merusakkan segenap amalannya yang telah dibangunnya, atau bahkan membatalkan amalannya.
Wainna lamu’akhadzuna bima natakallama fiihi: “Dan apakah kita akan disiksa dengan akibat dari apa yang kita bicarakan.” Yakni apakah dengan sebab omongan lisan kita ini, kita akan disiksa karenanya?
Tsaqilatka ummuk: “Ibumu kehilangan engkau.” Yakni secara dhahir maknanya doa celaka terhadap lawan bicara, namun Nabi shallallahu `alaihi wa ‘ala alihi wasallam tidaklah bermaksud demikian. Beliau maksudkan dengan omongan demikian ini adalah untuk memberi pendidikan dan memberi peringatan dari sikap lalai dan juga untuk menunjukkan keheranan serta menggambarkan betapa besarnya masalah ini.
Yakubbunnasa fin nari: “Dilemparkan dan dijatuhkan ke dalam api neraka.” Yakni dimasukkan ke neraka oleh Allah Ta`ala di hari kiamat nanti.
Ala wujuhihim au `ala manakhirihim: “Pada wajahnya atau pada kedua lubang hidungnya.” Yakni dilemparkan di neraka dengan posisi jatuhnya pada wajahnya terdahulu.
Illa hasha’idu alsinatihim: “Tidak lain kecuali karena hasil dari lisan mereka.” Yakni banyak orang dimasukkan ke neraka karena akibat dari omongan yang keluar dari lisannya, baik dalam bentuk perkataan kufur, ataupun syirik, ataupun bid’ah, ataupun menyangkut kehormatan sesama manusia.
(Berbagai keterangan ini kami ambil dari Tuhfatul Ahwadzi bis Syarh Ja’miut Tirmidzi, Al-Imam Al-Hafidh Abil Ali Muhammad Abdurrahman bin Abdirrahim Al-Mubarakfuri, jilid 7 hal. 363 – 365, juga Jami’ul Ushul fi Ahaditsir Rasul, Al-Imam Al-Mubarak bin Muhammad Ibnul Atsir, jilid 9 hal. 535 – 536, hadits ke 7274).

BEBERAPA PELAJARAN PENTING

1). Amal Islami yang saya maksud pada judul tulisan ini adalan amalan yang dituntunkan dalam berislam dan amalan untuk memenangkan dan memuliakan Islam serta Muslimin terhadap musuh-musuhnya dan mengantarkan pelakunya ke surga Allah Ta`ala. Maka membangun amal Islami adalah perjuangan untuk mengamalkan ajaran Islam dengan mempelajarinya, kemudian mengajarkannya, serta mempelopori ummat untuk mengamalkannya. Hanya dengan cara yang demikian inilah kita dapat berharap kepada Allah Ta`ala untuk melepaskan Ummat Islam keluar dari kepungan berbagai malapetaka yang sedang menimpanya. Dan dengan cara demikian inilah kita akan dapat mengharapkan turunnya kemenangan dari Allah Ta`ala untuk Islam dan Muslimin. Hal ini telah dijanjikan oleh Allah Ta`ala dalam firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong agama Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan mengokohkan kedudukanmu.” (Muhammad: 7)
2). Maka perjuangan membangun amal Islami itu haruslah dilakukan diatas prinsip Tauhidul Ibadah Lillahi wahdah (yakni meng-esakan Allah dalam mempersembahkan segala macam amalan ibadah) serta bersih dari segala unsur syirik (yakni bersih dari perbuatan menyekutukan Allah dalam segala persembahan amalan ibadah). Sebab perjuangan yang dibangun di atas prinsip yang demikian inilah yang akan kokoh tegak di muka bumi, karena diberkahi oleh Allah Ta`ala. Hal ini ditegaskan dalam firman-Nya:
Dan orang-orang yang beriman kepada Allah serta beramal shalih dan beriman pula kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad sebagai kebenaran yang datang dari Tuhan mereka. Allah akan menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki keadaan mereka.” (Muhammad: 2)
Juga Allah Ta`ala berfirman:
Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka dia akan tetap kokoh di muka bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.” (Ar-Ra’du: 17)
Juga firman Allah Ta`ala yang artinya:
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik (yaitu kalimat At-Tauhid yang berbunyi Lailahaillallah dengan segala makna dan konsekuensinya), seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seijin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk (yaitu kalimat syirik dan kufur), seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap tegak sedikitpun. Allah meneguhkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu (yaitu kalimat At-Tauhid) dalam kehidupan di dunia dan di akherat. Dan Allah menyesatkan orang-orang yang dzalim dan Dia melakukan apa yang dikehendaki-Nya.” (Ibrahim: 24 –25)
3). Juga merupakan prinsip perjuangan yang tidak boleh diabaikan ialah menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadlan, serta berhaji ke Makkah. Dalam menunaikan segenap prinsip perjuangan tersebut, haruslah dengan ikhlas karena Allah semata serta bersih dari segala unsur syirik dan mengikuti tuntunan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa ‘ala aalihi wasallam serta bersih dari segala unsur bid’ah. Sebab bila mengamalkan prinsip-prinsip amal Islami tersebut dengan syirik dan bid’ah atau dengan salah satu dari keduanya, maka akan gugurlah amalan tersebut dan tidak ada nilainya samasekali di sisi Allah Ta`ala. Hal ini telah ditegaskan oleh Allah Ta`ala dalam firman-Nya sebagai berikut:
Dan tidaklah mereka diperintah kecuali agar mereka beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan bagi-Nya segenap amalan disertai kecenderungan kepada ketaatan kepada-Nya, serta menegakkan shalat dan menunaikan zakat. Yang demikian itulah agama yang lurus.” (Al-Bayyinah: 5)
Juga Allah Ta`ala berfirman:
Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hai Muhammad sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan. Kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima putusan itu dengan sepenuhnya.” (An-Nisa’: 65)
Juga Allah Ta`ala berfirman:
Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada Nabi-Nabi sebelummu: Jika kamu berbuat syirik, niscaya akan gugurlah amalanmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. Karena itu, maka hendaklah Allah saja yang kamu ibadahi dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.” (Az-Zumar: 65 – 66)
4). Dalam rangka pembinaan kepribadian para pejuang di jalan Allah, maka sangat dianjurkan untuk berpuasa sunnah disamping puasa wajib, bershadaqah sunnah disamping shadaqah yang wajib, dan shalat malam sebagai sebaik-baik shalat sunnah, disamping shalat yang wajib. Semua amalan tersebut merupakan energi batin untuk menumbuhkan dan menjaga semangat perjuangan di jalan Allah Ta`ala. Bahkan Nabi kita Muhammad shallallahu `alaihi wa ‘ala aalihi wasallam dituntunkan oleh Allah Ta`ala untuk menjaga diri dari segala ancaman makar para musuh-musuh da’wah dengan menjalankan shalat wajib dan shalat sunnah. Hal ini telah disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya sebagai berikut:
(Artinya) “Dan sesungguhnya mereka hampir saja memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat omongan lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau kamu berbuat yang demikian itu (yakni perbuatan memalsukan firman Allah), tentulah mereka akan menjadikanmu sebagai shahabat yang setia. Dan kalau Kami tidak memperkuat hatimu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka. Maka kalau sampai terjadi demikian, Kami sungguh-sungguh akan rasakan adzab (siksaan) kepadamu dengan berlipat ganda di dunia ini, dan begitu pula adzab sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapatkan seorang penolongpun terhadap Kami. Dan sesungguhnya mereka hampir benar-benar membuatmu gelisah di negeri Makkah untuk mengusirmu daripadanya. Dan kalau terjadi yang demikian, maka mereka tidak tinggal padanya sepeninggalmu melainkan sebentar saja. Yang demikian ini (yakni menghadapi berbagai makar jahat musuh dakwah) adalah sebagai suatu ketetapan terhadap Rasul-Rasul Kami yang Kami utus sebelum engkau, dan tidak akan kamu dapati perubahan pada ketetapan Kami itu. Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan dirikanlah pula shalat subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan oleh para Malaikat. Dan pada sebagian malam hari kerjakanlah olehmu shalat tahajjud sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; semoga Tuhanmu mengangkatmu ketempat yang terpuji.” (Al-Isra’: 73 – 79).
Demikianlah Allah mengajarkan kepada Rasul-Nya tentang tonggak-tonggak amal Islami, khususnya ketika menghadapi berbagai bentuk makar jahat para musuh dakwah di jalan Allah Ta`ala. Bahkan Dia menjanjikan ampunan dan pahala yang besar bagi hamba-hamba-Nya yang menjaga diri dari bahaya kedurhakaan kepada-Nya dengan shalat, shadaqah, puasa dan berbagai amalan ketaatan terhadap Allah Ta`ala. Hal ini dinyatakan dalam firman-Nya sebagai berikut:
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang Muslim, laki-laki dan perempuan yang Mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatan kepada-Nya, laki-laki dan perempuan yang benar keimanannya, laki-laki dan perempuan yang sabar (di jalan Allah), laki-laki dan perempuan yang khusyu’ (dalam beribadah kepada Allah), laki-laki dan perempuan yang suka bersedekah, laki-laki dan perempuan yang suka berpuasa, laki-laki dan perempuan yang suka memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak berdzikir kepada Allah, disediakan oleh Allah bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Ahzab: 35)
5). Bangunan Amal Islami itu harus dikenali benar oleh para pejuang di jalan Allah Ta`ala untuk membimbing amalan mereka dalam kaitannya dengan ketentuan prioritas amal perjuangan. Bangunan tersebut menyatakan bahwa pokok atau modal amalan itu yang harus diutamakan atas segala amalan ialah menjaga keislaman kita agar jangan sampai rusak atau batal dengan berbagai kemusyrikan atau kebid’ahan dan kemaksiatan. Kemudian tonggak amal itu yang akan menjadikan amalan itu diridhai dan diberkahi oleh Allah Ta`ala ialah menegakkan kewajiban shalat lima waktu dan shalat-shalat sunnahnya. Sedangkan amalan yang paling puncak dengan didirikan diatas pengamalan shalat dan keimanan kepada agama Islam itu ialah jihad fi sabilillah. Dalam hal ini Allah Ta`ala menyatakan:
Dan orang-orang yang berjihad di jalan Kami, maka sungguh-sungguh Kami akan menunjuki mereka ke jalan Kami dan sesunggguhnya (pertolongan dan pemeliharaan) Allah akan selalu menyertai orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Ankabut: 69)
Al-Imam Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya meriwayatkan dengan sanadnya, bahwa Al-Imam Ar-Rabi’ bin Anas Al-Bakri Al-Basri Al-Khurasani ketika menerangkan ayat tersebut di atas beliau menyatakan: “Semua hamba Allah di muka bumi yang mentaati Tuhannya serta menyeru manusia untuk mentaati-Nya dan mencegah manusia untuk melanggar perintah-Nya, sungguh mereka yang demikian ini sedang berjihad di jalan Allah”. (Tafsir Ibnu Abi Hatim, jilid 9 hal. 3084 riwayat ke 17450, Maktabah Nizar Mustafa Al-Baz, Makkatul Mukarramah, cet. Th. 1419 H / 1999 M)
6). Satu perkara yang harus diperingatkan dengan keras terhadap semua pihak yang terlibat dalam perjuangan membangun amal Islami ialah keharusan menjaga dan memelihara lisan dari segala omongan yang dapat merusakkan dan bahkan menghancurkan amalan dan perjuangannya. Seorang pejuang di jalan Allah, apalagi sebagai da’i ilallah (penyeru kepada agama Allah) yang asbun (asal bunyi) sehingga setiap berkata tidak dipertimbangkan sisi kemaslahatan dan mafsadahnya (kerusakannya), maka yang demikian ini lebih banyak merusakkan bangunan amal Islami itu sendiri daripada menambah kebaikannya. Dalam hal ini Rasulullah shallallahu `alaihi wa ‘ala alihi wasallam mengingatkan:
Dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu beliau menyatakan: Rasulullah shallallahu `alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah bersabda: Cukuplah seseorang itu dikatakan telah berdusta bila dia menceritakan apa saja yang dia dengar (tanpa meneliti).” (HR. Muslim dalam Shahihnya juz 1 hal. 15 no. 5 dengan sanad yang shahih)
Juga Rasulullah shallallahu `alaihi wa ‘ala alihi wasallam mengingatkan:
Dari Abi Musa Al-Asy’ari radliyallahu `anhu, beliau menyatakan: Para Shahabat menanyakan: “Wahai Rasulallah, orang Islam mana yang paling utama?” Beliau shallallahu `alaihi wa ‘ala alihi wasallam menjawab: “Ialah siapa yang menyelamatkan kaum Muslimin dari lisannya dan tangannya.” (HR. Bukhari dalam Shahihnya hadits ke 11, lihat Fathul Bari juz 1 hal. 54 no. 11 bab Ayyul Islami Afdhalu).
Bahkan Rasulullah shallallahu `alaihi wa ‘ala alihi wasallam mengkaitkan iman dengan kemampuan mengendalikan lisannya untuk berkata yang baik:
Dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu, dari Nabi shallallahu `alaihi wa ‘ala alihi wasallam beliau bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka hendaklah dia mengucapkan yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya, lihat Riyadhus Shalihin hal. 520 no. 1519)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menerangkan makna hadits ini dalam kitab karya beliau yang berjudul Riyadhus Shalihin sebagai berikut: “Apa yang diterangkan dalam hadits ini telah jelas, bahwasanya seorang Mukmin itu sepantasnya tidak berbicara kecuali bila perkataannya itu baik, yaitu perkataan yang tampak kemaslahatannya. Maka bila dia ragu apakah perkataannya itu akan menimbulkan kemaslahatan atau tidak, maka ia tidak berbicara.”

PENUTUP

Demikian itulah mestinya perjuangan membangun amal Islami, perjuangan yang konsisten dengan prinsip-prinsip yang agung dan terhormat, ilmiah dan amaliah, penuh kehati-hatian dan tanggung jawab, serta tidak gegabah dan terukur, penuh hikmah dan keadilan. Perjuangan untuk mengikhlaskan seluruh peribadatan untuk Allah semata serta memerangi segala bentuk syirik dan kaum Musyrikin. Mengikuti segala tuntunan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa ‘ala aalihi wasallam serta memerangi segala bentuk bid’ah dan ahlul bid’ah. Menunaikan haq Allah Ta`ala dan haq segenap makhluk-Nya dengan sempurna.

Al-Ustadz Ja'far Umar Thalib

Back to Top